Monday, January 30, 2017

CERBER
MEMOIR SUSTER LUCIA de FATIMA
(bag 1)

Tahun ini, Gereja akan merayakan 100th Penampakan dan Pesan Bunda Maria kepada tiga anak Gembala, Lucia, Jasinta, Fransisco di Fatima. Penampakan dan pesan Yang Bunda Maria sampaikan itu berlangsung dari bulan Mei sampai Oktober 1917, pada setiap  tanggal 13. Mulai sekarang, WartaFX akan memuat Kisah penampakan itu yang ditulis langsung oleh suster Lucia,  dalam kumpulan surat kenang-kenangannya tentang Beata Jasinta (yang jenazahnya masih utuh) dan Beato Fransisco, juga penampakan yang mereka alami. Surat-surat ini dibuat atas permintaan Uskup Fatima. Mari kita kembali ke Fatima tahun 1917, bersama kenangan Suster Lucia. Selamat membaca.

PERANGAI JACINTA & CINTANYA KEPADA JURUSELAMAT TERSALIB
Yang mulia,
Sebelum peristiwa-peristiawa 1917, selain ikatan-ikatan persaudaraan yang mempersatukan kami, tak ada rasa sayang lain yang membuat saya lebih suka ditemani oleh Jacinta dan Fransisco daripada teman yang lain. Tapi terkadang saya saya merasa Jacinta terlalu peka, sehingga kurang menyenangkan. Pertengkaran sedikit saja dengan teman-teman lain, bisa membuat dia merajuk dan cemberut lalu duduk di pojokan sendiri, ‘seperti keledai yang diikat’ begitu istilah kami. Kalau pun nanti dia mau bergabung lagi, ia akan memilih sendiri bentuk permainannya dan teman yang akan berpasangan dengannya. Tetapi hatinya membuat dia tetap bersikap baik. Tuhan telah memberinya sifat yang lembut dan halus, yang membuatnya sekaligus mudah dicintai dan menarik.
Entah mengapa, walau pun usia kami terpaut agak jauh, Jacinta dan Fransisco sangat senang bermain dengan saya. Mereka selalu datang kepada saya dan meminta saya pergi bersama mereka ke sumur di kebun keluarga saya sebagai tempat bermain . Jacintalah yang selalu memilih permainan. Dan ia sangat suka bermain ‘kerikil’ dan ‘kancing baju’. Kami akan duduk di bebatuan sekitaran sumur. Dan saya sering kalah jika bermain ‘kancing baju’. Sedih sekali ketika kancing-kancing baju saya dicopot oleh Jacinta; sehingga kalau waktunya makan, saya harus buru-buru mencari kancing dan menjahitnya lagi, sebelum dimarahi ibu. Untuk mendapatkan kembali kancing-kancing baju saya dari Jacinta, tidak mudah, karena selain suka merajuk, Jacinta juga amat lekat dengan miliknya. Dia akan mengumpulkan kancing sebanyak mungkin, supaya kalau kalah, dia tidak perlu mencopot kancing bajunya sendiri. Hanya dengan mengancam bahwa saya tidak mau bermain dengannya lagi, Jacinta akan mengembalikan kancing-kancing bajuku. Namun demikian, saya lebih sering mengalah terhadap teman kecilku itu.
Dua kakak perempuan saya adalah pengrajin, yang menjahit dan menenun. Dengan begitu mereka berada di rumah sepanjang hari. Kesempatan itu digunakan oleh para tetangga untuk menitipkan anak-anak mereka jika suami-istri  harus bekerja. Ibu suka menerimanya, sehingga kami semua akhirnya harus terlibat menjaga anak-anak itu. Sayalah yang mengajak anak-anak itu bermain di halaman belakang sekitaran sumur kami, di bawah naungan tiga pohon ara.  Cabang-abang pohon ara itu kami pakai untuk bermain ayunan. Saya menghibur mereka sambil mengawasi agar tidak ada yang terjatuh ke sumur. Jika Jacinta dan Fransisco datang, mau gak mau mereka terpaksa bermain dengan kami. Ibu menyediakan sebuah tempat untuk kami makan siang. Dan pada waku akan tidur siang, terutama di masa Prapaskah, biasanya ibuku memberikan pelajaran Katekismus kepada kami anak-anaknya dan mereka yang ada bersama kami. Kata ibu, “Aku tak ingin merasa malu gara-gara kamu, jika pada masa Paskah nanti Imam/Romo bertanya tentang Katekismus kepada kamu.
Jasinta juga sangat peka, dan takut akan dosa. Suatu hari ketika banyak anak-anak di rumah kami.  Ada anak lain yang menuduh temannya dengan kata-kata yang tidak semestinya. Ibu saya menegur anak itu agar tidak boleh lagi mengucapkan kata-kata jelek seperti itu.  Ibu mengajarkan bahwa itu adalah dosa yang membuat Kanak-Kanak Yesus sedih. Dan jika mereka tidak mengakukan dosa itu mereka akan masuk neraka.
Jasinta kecil tidak pernah melupakan pelajaran itu. Dia menjadi takut bergabung dengan anak-anak yang bertengkar dan saling menuduh itu sebab Jacinta tidak mau melihat orang yang melakukan dosa yang menyedihkan  Kanak-Kanak Yesus itu.
Salah satu permainan kesukaan Jacinta adalah permainan ‘Denda’ di mana pihak yang kalah harus mengikuti perintah pemenang. Biasanya Jasinta akan meminta yang kalah untuk mengejar dan menangkap seekor kupu-kupu untuknya. Suatu hari ketika saya menang, saya memintanya untuk memeluk dan mencium salah satu kakak saya, tetapi Jasinta tidak mau karena malu, lalu ia berkata, ‘Mengapa engkau tidak menyuruhku pergi dan mencium Tuhan kita di sana?’ sambil menunjuk salib yang tergantung di dinding.
‘Baiklah,’ jawabku, ‘naiklah ke kursi, bawa salib itu kemari, berlututlah dan peluklah Dia dan ciumlah Dia tiga kali: satu untuk Fransisco, satu untukku, dan lainnya untukmu sendiri.’
‘Untuk Tuhan kita, aku akan melakukannya sebanyak yang kau maui!’ dan ia lari untuk mendapatkan salib itu. Sambil memandang Tuhan kita dengan penuh perhatian, ia bertanya:
Mengapa Tuhan kita dipakau di salib seperti itu?’
‘Sebab Ia mati untuk kepentingan kita.’ ‘Katakan padaku bagaiman itu terjadi,’ katanya.
Saya menceritakan kepadanya Kisah Sengsara Tuhan kita, yang pernah diajarkan ibuku.  Jasinta mendengarkan sambil memeluk dan mencium salib itu. Tiba-tiba salah satu kakak saya melihat bahwa salib itu ada di tangan kami. Ia menganmbil kembali salib itu dan memarahi kami, karena Salib itu adalah barang suci. Jasinta berdiri dan meminta maaf. Kakakku mengusap kepala Jacintadan menyuruh kami bermain di luar karena kami telah membuat rumah berantakan.
Kami berlari  ke arah sumur. Sumur itu tersembunyi di balik beberapa pohon ara, tumpukan batu dan semak berduri. Beberapa tahun kemudian, kami memilih tempat ini untuk pembicaraan kami yang lebih intim tentang penampakan Bunda Maria, doa-doa yang menyala-nyala, terkadang bersama air mata kepahitan. 
Marilah kita kembali ke permintaan Jasinta; setelah tiba di sumur, aku melanjutkan kisah Sengsara Tuhan kita. Jasinta menangis dan setelah itu, ia sering meminta aku mengulang Kisah Sengsara Tuhan kita itu. Ia akan menangis dan berkata, “Tuhan kami yang malang! Aku tak akan berdosa lagi! Aku tak ingin membuat Tuhanku menderita lagi!”
Jasinta juga suka mengajak kami menyaksikan keindahan alam saat  terbenamnya matahari dan menyaksikan malam yang berbintang dengan terang bulan. Kami sering menyebut binta sebagai lampu para malaikat, bulan itu lampunya Bunda Maria dan Matahari sebagai lampunya Tuhan kita.
Jasinta berkata, “Engkau tahu, aku lebih suka lampu Bunda kita (Bulan); karena ia tidak membakar atau membuat kita buta, seperti lampu Tuhan (matahari)”
Jasinta berkata begitu, karena di sini matahari dapat menjadi sangat terik pada musim-musim panas. Jasinta adalah anak yang lembut. Tentu sangat menderita bila kepanasan.  (bersambung)


Sumber: Memoir suster Lucia/Secretariado dos pastorinhos/FATIMA, PORTUGAL/diterjemahkan oleh: T. Hermaya dan Felicianus Kanisius Sila/disunting oleh:Romo Luis Kondor, SVD.