CERBER
MEMOIR SUSTER
LUCIA de FATIMA
(bag 1)
Tahun ini, Gereja
akan merayakan 100th Penampakan dan Pesan Bunda Maria kepada tiga
anak Gembala, Lucia, Jasinta, Fransisco di Fatima. Penampakan dan pesan Yang
Bunda Maria sampaikan itu berlangsung dari bulan Mei sampai Oktober 1917, pada
setiap tanggal 13. Mulai sekarang,
WartaFX akan memuat Kisah penampakan itu yang ditulis langsung oleh suster
Lucia, dalam kumpulan surat
kenang-kenangannya tentang Beata Jasinta (yang jenazahnya masih utuh) dan Beato
Fransisco, juga penampakan yang mereka alami. Surat-surat ini dibuat atas
permintaan Uskup Fatima. Mari kita kembali ke Fatima tahun 1917, bersama
kenangan Suster Lucia. Selamat membaca.
PERANGAI JACINTA
& CINTANYA KEPADA JURUSELAMAT TERSALIB
Yang
mulia,
Sebelum
peristiwa-peristiawa 1917, selain ikatan-ikatan persaudaraan yang mempersatukan
kami, tak ada rasa sayang lain yang membuat saya lebih suka ditemani oleh
Jacinta dan Fransisco daripada teman yang lain. Tapi terkadang saya saya merasa
Jacinta terlalu peka, sehingga kurang menyenangkan. Pertengkaran sedikit saja
dengan teman-teman lain, bisa membuat dia merajuk dan cemberut lalu duduk di
pojokan sendiri, ‘seperti keledai yang diikat’ begitu istilah kami. Kalau pun
nanti dia mau bergabung lagi, ia akan memilih sendiri bentuk permainannya dan
teman yang akan berpasangan dengannya. Tetapi hatinya membuat dia tetap
bersikap baik. Tuhan telah memberinya sifat yang lembut dan halus, yang
membuatnya sekaligus mudah dicintai dan menarik.
Entah
mengapa, walau pun usia kami terpaut agak jauh, Jacinta dan Fransisco sangat
senang bermain dengan saya. Mereka selalu datang kepada saya dan meminta saya
pergi bersama mereka ke sumur di kebun keluarga saya sebagai tempat bermain .
Jacintalah yang selalu memilih permainan. Dan ia sangat suka bermain ‘kerikil’
dan ‘kancing baju’. Kami akan duduk di bebatuan sekitaran sumur. Dan saya
sering kalah jika bermain ‘kancing baju’. Sedih sekali ketika kancing-kancing
baju saya dicopot oleh Jacinta; sehingga kalau waktunya makan, saya harus
buru-buru mencari kancing dan menjahitnya lagi, sebelum dimarahi ibu. Untuk
mendapatkan kembali kancing-kancing baju saya dari Jacinta, tidak mudah, karena
selain suka merajuk, Jacinta juga amat lekat dengan miliknya. Dia akan
mengumpulkan kancing sebanyak mungkin, supaya kalau kalah, dia tidak perlu
mencopot kancing bajunya sendiri. Hanya dengan mengancam bahwa saya tidak mau
bermain dengannya lagi, Jacinta akan mengembalikan kancing-kancing bajuku.
Namun demikian, saya lebih sering mengalah terhadap teman kecilku itu.
Dua
kakak perempuan saya adalah pengrajin, yang menjahit dan menenun. Dengan begitu
mereka berada di rumah sepanjang hari. Kesempatan itu digunakan oleh para
tetangga untuk menitipkan anak-anak mereka jika suami-istri harus bekerja. Ibu suka menerimanya, sehingga
kami semua akhirnya harus terlibat menjaga anak-anak itu. Sayalah yang mengajak
anak-anak itu bermain di halaman belakang sekitaran sumur kami, di bawah
naungan tiga pohon ara. Cabang-abang
pohon ara itu kami pakai untuk bermain ayunan. Saya menghibur mereka sambil
mengawasi agar tidak ada yang terjatuh ke sumur. Jika Jacinta dan Fransisco
datang, mau gak mau mereka terpaksa bermain dengan kami. Ibu menyediakan sebuah
tempat untuk kami makan siang. Dan pada waku akan tidur siang, terutama di masa
Prapaskah, biasanya ibuku memberikan pelajaran Katekismus kepada kami
anak-anaknya dan mereka yang ada bersama kami. Kata ibu, “Aku tak ingin merasa
malu gara-gara kamu, jika pada masa Paskah nanti Imam/Romo bertanya tentang
Katekismus kepada kamu.
Jasinta
juga sangat peka, dan takut akan dosa. Suatu hari ketika banyak anak-anak di
rumah kami. Ada anak lain yang menuduh
temannya dengan kata-kata yang tidak semestinya. Ibu saya menegur anak itu agar
tidak boleh lagi mengucapkan kata-kata jelek seperti itu. Ibu mengajarkan bahwa itu adalah dosa yang
membuat Kanak-Kanak Yesus sedih. Dan jika mereka tidak mengakukan dosa itu
mereka akan masuk neraka.
Jasinta
kecil tidak pernah melupakan pelajaran itu. Dia menjadi takut bergabung dengan
anak-anak yang bertengkar dan saling menuduh itu sebab Jacinta tidak mau
melihat orang yang melakukan dosa yang menyedihkan Kanak-Kanak Yesus itu.
Salah
satu permainan kesukaan Jacinta adalah permainan ‘Denda’ di mana pihak yang
kalah harus mengikuti perintah pemenang. Biasanya Jasinta akan meminta yang
kalah untuk mengejar dan menangkap seekor kupu-kupu untuknya. Suatu hari ketika
saya menang, saya memintanya untuk memeluk dan mencium salah satu kakak saya,
tetapi Jasinta tidak mau karena malu, lalu ia berkata, ‘Mengapa engkau tidak
menyuruhku pergi dan mencium Tuhan kita di sana?’ sambil menunjuk salib yang
tergantung di dinding.
‘Baiklah,’
jawabku, ‘naiklah ke kursi, bawa salib itu kemari, berlututlah dan peluklah Dia
dan ciumlah Dia tiga kali: satu untuk Fransisco, satu untukku, dan lainnya
untukmu sendiri.’
‘Untuk
Tuhan kita, aku akan melakukannya sebanyak yang kau maui!’ dan ia lari untuk
mendapatkan salib itu. Sambil memandang Tuhan kita dengan penuh perhatian, ia
bertanya:
Mengapa
Tuhan kita dipakau di salib seperti itu?’
‘Sebab
Ia mati untuk kepentingan kita.’ ‘Katakan padaku bagaiman itu terjadi,’
katanya.
Saya
menceritakan kepadanya Kisah Sengsara Tuhan kita, yang pernah diajarkan
ibuku. Jasinta mendengarkan sambil
memeluk dan mencium salib itu. Tiba-tiba salah satu kakak saya melihat bahwa
salib itu ada di tangan kami. Ia menganmbil kembali salib itu dan memarahi
kami, karena Salib itu adalah barang suci. Jasinta berdiri dan meminta maaf.
Kakakku mengusap kepala Jacintadan menyuruh kami bermain di luar karena kami
telah membuat rumah berantakan.
Kami
berlari ke arah sumur. Sumur itu
tersembunyi di balik beberapa pohon ara, tumpukan batu dan semak berduri.
Beberapa tahun kemudian, kami memilih tempat ini untuk pembicaraan kami yang
lebih intim tentang penampakan Bunda Maria, doa-doa yang menyala-nyala,
terkadang bersama air mata kepahitan.
Marilah
kita kembali ke permintaan Jasinta; setelah tiba di sumur, aku melanjutkan
kisah Sengsara Tuhan kita. Jasinta menangis dan setelah itu, ia sering meminta
aku mengulang Kisah Sengsara Tuhan kita itu. Ia akan menangis dan berkata,
“Tuhan kami yang malang! Aku tak akan berdosa lagi! Aku tak ingin membuat
Tuhanku menderita lagi!”
Jasinta
juga suka mengajak kami menyaksikan keindahan alam saat terbenamnya matahari dan menyaksikan malam
yang berbintang dengan terang bulan. Kami sering menyebut binta sebagai lampu
para malaikat, bulan itu lampunya Bunda Maria dan Matahari sebagai lampunya
Tuhan kita.
Jasinta
berkata, “Engkau tahu, aku lebih suka lampu Bunda kita (Bulan); karena ia tidak
membakar atau membuat kita buta, seperti lampu Tuhan (matahari)”
Jasinta
berkata begitu, karena di sini matahari dapat menjadi sangat terik pada
musim-musim panas. Jasinta adalah anak yang lembut. Tentu sangat menderita bila
kepanasan. (bersambung)
Sumber: Memoir
suster Lucia/Secretariado dos pastorinhos/FATIMA, PORTUGAL/diterjemahkan oleh:
T. Hermaya dan Felicianus Kanisius Sila/disunting oleh:Romo Luis Kondor, SVD.